Nasionalisme
kedua, sebagaimana yang telah diucapkan dan menjadi harapan semua pihak
sejatinya merupakan pertanyaan terhadap peran dan fungsi mahasiswa pada
umumnya. Bukan hanya sekedar perntanyaan skeptis yang ditujukan kepada
mahasiswa namun juga menjadi suatu acuan untuk pengembangan peran dan
fungsi mereka di dalam pergulatan intelektualitas nyata. Hal seperti ini
biasa dilakukan oleh para mahasiswa baik di panggung perpolitikan
kampus maupun mimbar bebas akademik (Fadjar A. M. dan Effendy, M.,
2013:48). Namun kenyataannya, akhir-akhir ini muncul perdebatan tentang
apakah peran tersebuat telah terpenuhi dengan optimal dan maksimal baik
di dalam tubuh organisasi intra kampus maupun ekstra kampus. Kenytataan
masih belum. Mahasiswa yang dijuluki agent of change
di zaman kontemporer ini memiliki tugas yang cukup berat untuk
menghidupkan kembali jiwa nasionalisme kebangsaan melalui forum-forum
ilmiah atau mimbar intelektual yangmenjunjung tinggi nila-nilai
kesantunan dan disiplin ilmu pengetahuan.
Dalam
konteks ke Indonesiaan, misalnya, masih terdapat banyak sekali
organisasi-organisasi mahasiswa baik intra maupun ekstra yang belum sama
sekali mewujudkan nilai-nilai tersebut. Mereka memilih untuk berjibaku
di jalan raya menyuarakan suara rakyat sambil memikul bendera kebanggaan
mereka masing-masing. Hal ini sebetulnya baik dan tidak bersifat riskan
apabila tidak disertai dengan sikap-sikap fanatik demonstrasi yang
merusak, membakar, dan mengganggu individu-individu lainnya yang juga
memiliki hak untuk menggunakan fasilitas-fasilitas umum di luar sana.
Namun kenyataannya masih banyak dari mereka yang tidak memperhatikan hal
tesebut dengan berdalih ‘satu aksi satu hati’. Apakah seperti itu peran
mahasiswa yang sebenarnya? Lain halnya dengan organisasi mahasiswa
intra kamus yang terkenal lebih aktif dalam pergulatan intelektualitas
di dalam kampus. Mereka yang tergabung didalam aliansi ini lebih
cenderung bersikap sentimen yang akhirnya mereka bawa ke ranah personal
tanpa akhir.
Dalam
kaitannya menghidupkan kembali sikap nasionalisme kedua ini, peran dan
fungsi mahasiswa perlu diarahkan ke arah yang lebih positif dan
prospektif. Dalam pembahasan nasionalisme kedua ini juga harus lebih
diartikan sebagai upaya untuk merekonseptualisasikan paham kebangsaan
indonesia dan menumbuhkan sikap nasionalisme baru sehubungan dengan
perubahan-perubahan yang bersifat global dan menjadi tantangan
tersendiri bagi mahasiswa dalam ranah intelektualitas dan mimbar bebas
akademik. Perubahan sikap fanatik yang salah harus dimulai dari sistem
‘turun jalan’ yang dilakukan mahasiswa menjadi sistem ‘naik mimbar
akademik’. Etika haruslah dijadikan tombak dalam menyikapi setiap
permasalan-permasalahan atau isu sosial politik lokal dan interlokal.
Arogansi dan sentimen-sentimen yang mengarah kepada perpecahan
solidaritas mahasiswa khususnya di dalam kampus perlu dihilangkan dengan
semangat kebhinnekaan di dalamnya. sehingga mahasiswa dapat menyatukan
visi dan misi mereka yang berbeda di dalam satu wadah inteletualitas dan
mimbar akademik.
Posisi
mahasiswa inilah yang nantinya akan menentukan jalan peran dan fungsi
mereka sebagai insan muda intelektual. Mahasiswa sekarang ini tidak lagi
dilihat sebagai elite ekskluf dibanding pada masa kebangkitan nasional
dahulu. Jika nasionalisme pada masa penjajahan muncul serentak, itu
sudah wajar mengingat pada masa itu penjajahan membabi-buta disetiap
daerah di Indonesia. Pada masa sekarang ini, kebangkitan nasionalisme
mahasiwa lebih mengarah kepada cara menyikapi tantangan dunia global
dengan cepat dan tepat. Dalam hal ini paling tidak terdapat dua faktor
penentu yang harus dimiliki mahasiswa dalam menghidupkan kembali
semangat juang nasionalisme.
Pertama,
mahasiswa merupakan asset masa depan bangsa yang lebih berkesempatan
dalam menguasai ilmu pengetahuan, teknologi, dan bahasa untuk menjawab
tantangan hidup di zaman global ini. Sehingga dengan begitu idealisme
mereka akan lebih mudah diimplementasikan. Semangat juang di ranah
intelektualitas, mimbar akademik, dan pengabdian masyarakatpun akan
terwujud dengan sendirinya.
Kedua,
mahasiswa adalah kelompok strategis untuk mengembangkan pola pikir
kritis dalam membantu kemajuan pembangunan. Di sektor pendidikan
misalnya, sebagaimana yang telah diusung ole setiap Perguruan Tinggi
baik negeri maupun swasta mengarahkan mahasiswa untuk mewujudkan penelitian, pendidikan, dan pengabdian
ke ranah sosial akademik nyata. Karya-karya ilmiah dan kreasi mahasiswa
harus lebih dioptimalkan kembali sebagai tempat pengejawantahan
nilai-nilai penelitian. Dalam hal pendidikan, baik peserta didik yaitu
dalam konteks ini adalah mahasiswa maupun pendidik yaitu dosen harus
bersama-sama menamkan dan mengfusikan nilai-nilai karakter pendidikan
seperti kejujuran, keadilan, tenggang rasa, tanggung jawab, dan lain
sebagainya. Dalam ranah sosial budaya, pengabdian adalah point yang juga
tidak bisa begitu saja diabaikan karena inilah yang akan menjadi tolak
ukur keberhasilan teori-teori pembelajaran dan penelitian yang
dipelajari oleh mahasiswa. Pengabdian masyarakat dalam hal ini dapat
diwujudkan dengan membangun kembali jembatan-jembatan yang tidak layak
untuk dilewati di beberapa daerah terpencil di Indonesia. Hal ini akan
lebih bermanfaat dari pada mahasiswa harus banyak terjun jalan dengan
tanpa hasil nyata untuk proses pembangunan bangsa dan negara. Terlalu
banyak teori tidaklah efektif dalam menyelesaikan setiap permasalahan.
Pun ketika harus menunggu ulur tangan pemerintah adalah hal yang
sia-sia. Kalau bukan kita yang memulai, lalu siapa lagi yang pantas
untuk itu?
Perspektif
ini aadalah sebuah kontemplasi nyata yang perlu untuk didoktinkan sejak
awal kepada para mahasiswa khususnya mereka yang bergelut aktif di
organisasi-organisasi intra maupun ekstra kampus. Akar dari nilai
nasionalisme harus menjadi landasan dasar dalam bertindak dan menyikapi
setiap permasalahan. Etika, intelektualitas, dan progresifitas mimbar
bebas akademik adalah hal mendasar yang perlu dicerna oleh setiap
mahasiswa. Sehingga dengan begitu generasi muda harapan masa depan dapat
menjalankan fungsi dan peran mereka dalam proses pembangunan yang
berkelanjutan. Ide ini bukanlah sebuah skeptisme belaka namun sebuah
proses pengejawantahan teori dan praktek yang harus dijalankan oleh
mahasiswa. Bagaimana menurut anda?